Tari Topeng makalah
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Masyarakat
senantiasa berubah seiring dinamika sosial, ekonomi, budaya dan politik,
realitas semacam inilah yang harus diperhatikan dan diantisipasi secara cepat
dan tepat. Dalam konteks pembangunan untuk kesejahteraan masyarakat nampaknya
perubahan tersebut harus selalu mempertimbangkan potensi dan tradisi lokal
masyarakat karenanya, penguatan masyarakat melalui pemberdayaan adalah salah
satu diantara ikhtiar yang kiranya dilakukan.
Dalam
perkembangannya di masyarakat umum, Tari Topeng Cirebon kemudian memperoleh dan
memiliki bentuk serta penyajiannya yang spesifik, yang selanjutnya dikenal dengan
istilah Topeng Babakan atau Dinaan. Adapun kekhususan dari perkembangan Tari
Topeng di masyarakat umum tersebut adalah berupa penampilan 5 atau 9 Topeng
dari tokoh – tokoh cerita panji. Sebagai hasil kebudayaan, Tari Topeng
mempunyai nilai hiburan yang mengandung pesan – pesan terselubung, karena unsur – unsur yang terkandung
didalamnya mempunyai arti simbolik yang bila diterjemahkan sangat menyentuh
berbagai aspek kehidupan, sehingga juga mempunyai nilai pendidikan. Variasinya
dapat meliputi aspek kehidupan manusia seperti kepribadian, kebijaksanaan,
kepemimpinan, cinta bahkan angkara murka serta menggambarkan perjalanan hidup
manusia sejak dilahirkan hingga menginjak dewasa. Dalam hubungan itu, tidaklah
mengherankan bahwa Tari Topeng Cirebon dapat dijadikan media komunikasi untuk
dimanfaatkan secara positif.
Pada
masa Cirebon menjadi pusat penyebaran agama Islam, Sultan Cirebon; Syekh Syarif
Hidayatulah yang juga seorang anggota Dewan Wali Sanga yang bergelar Sunan
Gunung Jati, bekerja sama dengan Sunan Kalijaga memfungsikan Tari Topeng dan 6
(enam) jenis kesenian lainnya sebagai bagian dari upaya penyebaran agama Islam
dan sebagai tontonan dilingkungan Keraton. Adapun Keenam kesenian tersebut
adalah Wayang Kulit, Gamelan Renteng, Brai, Angklung, Reog dan Berokan.Jauh
sebelum Tari Topeng masuk ke Cirebon, Tari Topeng tumbuh dan berkembang sejak
abad 10 –11 M.
Pada
masa pemerintahan Raja Jenggala di Jawa Timur yaitu Prabu Panji Dewa. Melalui
seniman jalanan ( pengamen ) Seni Tari Topeng masuk ke Cirebon dan kemudian
mengalami perpaduan dengan kesenian rakyat setempat. Dewasa ini, kecenderungan
menggunakan metode kualitatif dikalangan keilmuan sosial makin berkembang
pesat, di Indonesia penggunaan pendekatan kualitatif dalam menganalisis gejala
kemasyarakatan relatif belum begitu lama, barang kali mulai tumbuh subur
sekitar pertengahan tahun 70-an,
1.2 Rumusan Masalah
1. Pengertian
Seni Tari
2. Fungsi
Seni Tari
3. Unsur-unsur
dalam Seni Tari
4. Jenis-jenis
Seni Tari dan Contohnya
5. Definisi
Tari Topeng Cirebon
6. Sejarah
Perkembangan Tari Topeng Cirebon
7. Filosofi
Tari Topeng Cirebon
8. Tari
Topeng Cirebon Gambaran Hidup Manusia
9. Maestro
Tari Topeng Cirebon
10. Tari
Topeng Cirebon Bertahan dari Kepunahan
11. Jenis
Tari Topeng Cirebon
12. Alat
Musik Pengiring Tari Topeng Cirebon
1.3 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan kami
menyusun makalah ini untuk menjelaskan tentang Tarian Tradisional Daerah Jawa
Barat yaitu “Tari Topeng Cirebon”, dan juga untuk membantu teman-teman dalam
memahami pelajaran Seni Budaya.
1.4 Manfaat Penulisan
Penulisan makalah ini
mempunyai manfaat, baik secara teoritis maupun praktis. Secara teoritis
penelitian ini bermanfaat dalam menerapkan dan memperdalam intelegensi pembaca
mengenai Tari Topeng Cirebon dan hasil penulisan mskslsh ini dapat menjadikan
rujukan atau bahan referensi penulis selanjutnya untuk tercipta sebuah karya
tulis yang sempurna.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Seni Tari
Secara garis besar Seni Tari adalah gerak tubuh secara
berirama yang di lakukan disebuah tempat dan waktu tertentu untuk mengungkapkan
perasaan, pikiran, dan maksud tertentu. Namun secara lebih spesifik lagi,
beberapa pendapat tentang pengertian seni tari muncul dari beberapa ahli. Baik
ahli dari dalam negeri maupun luar negeri memiliki pandangan tersendiri
terhadap pengertian seni tari. Pengertian Seni Tari menurut Para Ahli :
1)
Corrie
Hartong
Tari merupakan desakan perasaan manusia
yang ada di dalam diri, yang mendorongnya untuk mencari sebuah ungkapan yang
berbentuk gerak-gerak yang ritmis.
2)
Dr,
Soedarsono
Teri merupakan ekspresi jiwa manusia
melalui gerak-gerak ritmis yang indah (estetis).
2.2 Fungsi Seni Tari
Secara
umum, fungsi seni tari adalah sebagai hiburan, media pergaulan, media
pendidikan, dan pertunjukan. Seni tari mempunyai fungsi yang berbeda-beda
tergantung jenisnya.
Jenis-jenis
berdasarkan fungsinya, adalah :
a)
Sarana
Upacara
Tari jenis ini sebagai sarana upacara
banyak macamnya seperti untuk upacara keagamaan atau upacara penting lainnya.
Contohnya : Tari Pendet dari Bali yang digunakan saat upacara keagamaan, para
penari membawa bokor yang berisi bunga sebagai sesaji untuk persembahan. Selain
itu ada Tari Gantar dari Kalimantan, disajikan saat upacara adat selamatan
untuk Dewi Sri.
b)
Sarana
Hiburan
Tari jenis ini tujuannya untuk menghibur
penonton, biasanya penonton yang ikut terhibur juga ikut menari karena lagunya
enak dan mengasyikkan. Contohnya : Tari Tayub dari Jawa Tengah adalah tari
hiburan yang dipertunjukkan sehabis panen.
c)
Sarana
Pendidikan
Tari jenis ini mempunyai tujuan untuk
mendidik anak agar bersikap dewasa dan terjaga dari pergaulan yang melanggar
norma-norma.
d)
Sarana
Pergaulan
Tari jenis ini merupakan tari yang
melibatkan beberapa orang, maka dari itu kegiatan itu bisa berfungsi sebagai
sarana pergaulan.
e)
Sarana
Pertunjukan
Tari jenis ini dipentaskan atau
dipertunjukan dengan persiapan yang matang dari segi artistik, koreografi,
interpretasi, konsepsional dan tema yang menarik. Tari pertunjukkan juga
mempunyai peran untuk mengembangkan pariwista dearah. Contohnya ; Sendratari
Ramayana yang dipertunjukan untuk menarik para wisatawan yang datang ke
Yogyakarta.
f)
Sarana
Katarsis
Katarsis artinya pembersihan jiwa. Seni
tari ini sebagai sarana katarsis yang mudah dilaksanakan oleh orang-orang yang
mempunyai penghayatan seni mendalam seperti para seniman.
2.3 Unsur-unsur dalam Seni Tari
Agar tercipta suatu gerak
ritmis yang indah, terdapat beberapa unsur yang membangunnya. Unsur-unsur
tersebut dibagi menjadi dua jenis, yakni unsur utama dan unsur pendukung.
1.
Unsur
Utama Seni Tari
Sebuah gerakan ritmis dikatakan sebagai tarian apabila
sudah mencakup tiga unsur utama seni tari. Jika tidak ada semua atau salah satu
dari unsur tersebut, maka tidak bisa disebut tari. Unsur utama tersebut adalah
:
·
Wiraga
(Raga)
Sebuah seni tari harus menonjolkan gearakan badan,
baik dalam posisi berdiri ataupun duduk.
·
Wirama
(Irama)
Sebuah seni tari harus memiliki gerakan ritmis yang
sesuai dengan irama pengiringnya, baim dari tempo maupun iramanya.
·
Wirasa
(Rasa)
Sebuah seni tari harus mampu menyampaikan pesan
perasaan melalui gerakan sebuah tarian dan ekspresi penarinya.
2.
Unsur
pendukung Seni Tari
Ketika unsur utama sudah terpenuhi, maka akan lebih
baik jika unsur pendukung seni tari juga dipenuhi. Supaya dalam sebuah
pementasan sendar tari atau pertunjukan tari bisa terlihat mempunyai daya
pesona. Unsur-unsur tersebut adalah :
·
Ragam
Gerak
Agar sebuah tarian menjadi indah diperlukan kombinasi
gerakan pada beberapa anggota tubuh, sehingga tidak hanya tangan dan kaki saja.
Tetapi lenggokan, lirikan mata, ekspresi dan gerak kepala juga bisa
ditambahkan. Sehingga sebuah tarian akan terlihat lebih estetis lagi.
·
Ragam
Iringan
Jika sebuah tarian diiringi musik ritmis maka tarian
akan dapat dinikmati secara gerak, suara, dan perasaan. Akan tetapi lebih hidup
jika diikuti dengan suara iringan yang berasal dari tubuh penarinya. Baik itu
tepukan tangan, suara hentakan kaki, atau teriakan yang mengiringi gerak
tarinya.
·
Rias
dan Kostum
Dalam sebuah tarian, unsur raga juga harus dipenuhi
supaya pesan tariannya sampai. Supaya sampai dan lebih mengena, maka akan lebih
bagus bila dilengkapi dengan riasan dan kostum yang sesuai dengan tema
tariannya. Sehingga ekspresi muka dan gerak tariannya bisa menambah pesona dan
keindahan sebuah pertunjukan tari.
·
Pola
Lantai/Blocking
Sebuah tarian akan terlihat indah apabila gerakannya
disesuaikan dengan pola lantai, jadi gerakan penari tidak terfokus di tengah
panggung atau pada satu titik saja. Penari harus menyesuaikan dengan tempat dan
juga posisi penontonya. Selain itu, bila tarian ditampilkan berkelompok,
transisi antar penari juga harus diatur dalam blockingnya. Supaya gerakkannya
tidak kacau, kompak dan teratur.
2.4 Jenis-jenis Seni Tari dan Contohnya
Dalam
sebuah tarian, subjek utama yang melakukannya adalah penari.
1)
Jenis
Seni Tari berdasarkan Jumlah Penarinya
Dilihat dari jumlah penarinya, seni tari
dapat dibagi menjadi tiga kategori, yaitu :
·
Tari
Tunggal (Solo)
Sebuah seni tari yang dibawakan oleh satu
orang penari, baik laki-laki maupun perempuan. Contohnya : Tari gatot Kaca Gandrung
dari Jawa Tengah.
·
Tari
Berpasangan (Duet)
Sebuah seni tari yang dibawakan oleh dua
orang penari secara berpasangan, baik laki-laki semua, perempuan semua, maupun
seorang laki-laki dan seorang perempuan. Contohnya : Tari Topeng dari Jawa
Barat.
·
Tari
Berkelompok (Grup)
Sebuah seni tari yang dibawakan oleh lebih
dari dua orang atau sekelompok penari, baik laki-laki semua, perempuan semua,
maupun campuran antara laki-laki dan perempuan. Contohnya : Tari Saman dari
Aceh.
2)
Jenis
Seni Tari berdasarkan Genre/Alirannya
Berdasarkan variasi gerakan dan iringan
yang digunakan, tari dapat dikelompokkan ke dalam beberapa genre/aliran seni
tari. Genre/aliran seni tari tersebut dibagi menjadi lima kategori, yaitu :
·
Tari
Tradisional
Tarian yang diwariskan secara turun
menurun sejak zaman dahulu yang dilestarikan dan menjadi bagian dari budaya
sebuah daerah. Dalam tari tradisional terdapat filosofi, nilai, simbol dan juga
unsur religius. Tarian tradisional biasanya tidak mengalami perubahan cukup
besar, baik dari segi irama pengiring, formasi gerakan maupun riasan dan
kostumyang dipakai. Nah, tari tradisional sendiri dibagi menjadi dua kategori
lagi, yakni :
o
Tari
Tradisional Klasik
Merupakan tarian tradisional yang
dikembangkan oleh kalangan bangsawan istana atau keraton. Tarian ini sudah baku
dan tidak boleh diubah gerakkanya, ciri grakan tari tradisional klasik adalah
anggun atau berwibawa dengan kostum yang mewah. Tarian seperti ini biasanya
digunakan dalam upacara adat maupun penyambutan tamu kehormatan. Contohnya
:Tari Bedhaya Srimpi dari Jawa Tengah dan Tari Sang Hyang dari Bali.
o
Tari
Tradisional Kerakyatan
Merupakan tarian tradisional yang
dikembangkan oleh kalangan rakyat biasa. Tarian ini memiliki gerakkan yang
tidak terlalu baku dan bisa diimprove, baik ragam gerakan maupun kostum yang
digunakan tergolong sederhana. Tarian tradisional kerakyatan biasanya ditarikan
dalam upacara perayaaan dan sebagai tari pergaulan. Contohnya : Tari Jaipong
dari Jawa Barat dan Tari Lilin dari Sumatera Barat.
·
Tari
Kreasi Baru
Merupakan tarian yang dikembangkan oleh
seorang koreografer/penata tari. Kaidah gerajkkanya sudah lepas dari gerakan
baku dan bersifat bebas. Namun gerakan yang ditampilkan tetap gerakan tari yang
estetis dan indah. Iringan musik, riasan dan kostum yang digunakan dalam tari
kreasi baru sangat beragam sesuai dengan tema yang dibawakan. Tari kreasi baru
dapat dikategorikan menjadi dua macam, yakni :
o
Tari
kreasi Baru Pola Tradisi
Merupakan tarian yang menggunakan unsur
tradisional dalam kreasinya, baik dari segi grakan, musik/irama, rias dan
kostumnya terdapat sentuhan tradisionalnya.
o
Tari
Kreasi Baru Non Tradisi
Merupakan tarian yang sama sekali tidak
menggunakan unsur tradisional dalam kreasinya, baik dari segi gerakan,
musik/irama, rias dan kostumnya tidak terdapat sentuhan tradisionalnya. Tarian
ini sering disebut dengan tarian modern.
·
Tari
Kontemporer
Merupakan tarian yang menggunakan gerakan
simbolik, unik dan mengandung sebuah pesan. Musik/irama yang digunakan juga
unik, mulai dari irama musik sederhana, orkestra, sampai musik flutyloops yang
berasal dari teknologi musik digital. Kostum dan riasan yang digunakan juga
serba unik biasanya disesuaikan dengan tema dan ide pertunjukan tarinya. Tari
kontemporer biasanya dipentaskan untuk mengenang tokoh, kejadian, maupun hari
tertentu yang meninggalkan cerita khusus.
2.5 Definisi Tari Topeng
Menurut
pendapat salah seorang seniman dari ujung gebang-Susukan-Cirebon, Marsita, kata
topeng berasal dari kata ”Taweng” yang berarti tertutup atau menutupi.
Sedangkan menurut pendapat umum, istilah kata Topeng mengandung pengertian sebagai
penutup muka/kedok. Berdasarkan asal katanya tersebut, maka tari Topeng pada
dasarnya merupakan seni tari tradisional masyarakat Cirebon yang secara
spesifik menonjolkan penggunaan penutup muka berupa topeng atau kedok oleh para
penari pada waktu pementasannya.
Seperti
yang telah diutarakan diatas, bahwa unsur-unsur yang terdapat dalam seni tari
topeng Cirebon mempunyai arti simbolik dan penuh pesan-pesan terselubung, baik
dari jumlah kedok, warna kedok, jumlah gamelan pengiring dan lain sebagainya.
Hal tersebut merupakan upaya para Wali dalam menyebarkan agama Islam dengan
menggunakann kesenian Tari Topeng setelah media Dakwah kurang mendapat Respon
dari masyarakat Jumlah Topeng/Kedok seluruhnya ada 9 (sembilan ) buah, yaitu :
Panji, Samba atau Pamindo, Rumyang, Tumenggung atau Patih, Kelana atau Rahwana,
Pentul, Nyo atau Semblep, Jinggananom dan Aki – aki. Dari kesembilan Topeng/Kedok tersebut yang
dijadikan sebagai Kedok pokok hanya 5 (lima ) buah yaitu : Panji, Samba atau
Pamindo, Rumyang, Tumenggung dan Kelana. Sedangkan empat kedok lainnya hanya digunakan
apabila dibuat cerita/lakon seperti cerita Jaka Blowo, Panji Blowo, Panji
Gandrung dll.
2.6 Sejarah Perkembangan Tari Topeng
Cirebon
Sebagai
hasil kebudayaan, Tari Topeng mempunyai nilai hiburan yang mengandung
pesan–pesan terselubung, karena unsur–unsur yang terkandung didalamnya
mempunyai arti simbolik yang bila diterjemahkan sangat menyentuh berbagai aspek
kehidupan, sehingga juga mempunyai nilai pendidikan. Variasinya dapat meliputi
aspek kehidupan manusia seperti kepribadian, kebijaksanaan, kepemimpinan, cinta
bahkan angkara murka serta menggambarkan perjalanan hidup manusia sejak
dilahirkan hingga menginjak dewasa. Dalam hubungan itu, tidaklah mengherankan
bahwa Tari Topeng Cirebon dapat dijadikan media komunikasi untuk dimanfaatkan
secara positif.
Pada
masa Cirebon menjadi pusat penyebaran agama Islam, Sultan Cirebon; Syekh Syarif
Hidayatulah yang juga seorang anggota Dewan Wali Sanga yang bergelar Sunan
Gunung Jati, bekerja sama dengan Sunan Kalijaga memfungsikan Tari Topeng dan 6
(enam) jenis kesenian lainnya sebagai bagian dari upaya penyebaran agama Islam
dan sebagai tontonan dilingkungan Keraton. Adapun Keenam kesenian tersebut
adalah Wayang Kulit, Gamelan Renteng, Brai, Angklung, Reog dan Berokan. Jauh
sebelum Tari Topeng masuk ke Cirebon, Tari Topeng tumbuh dan berkembang sejak
abad 10 –11 M. Pada masa pemerintahan Raja Jenggala di Jawa Timur yaitu Prabu
Panji Dewa. Melalui seniman jalanan ( pengamen ) Seni Tari Topeng masuk ke
Cirebon dan kemudian mengalami perpaduan dengan kesenian rakyat setempat.
2.7 Filosofi Tari Topeng Cirebon
Sudah
lama tari Topeng Cirebon mengundang tanda tanya akibat daya pesonanya yang
tinggi, tidak saja di Indonesia tetapi juga di luar negeri. Tari Panji, yang
merupakan tarian pertama dalam rangkaian Topeng Cirebon adalah sebuah misterium
sampai sekarang belum ada koreografer Indonesia yang mampu menciptakan tarian
serupa untuk menandinginya. Tarian Panji seolah-olah “tidak menari”. Justru
karena tariannya tidak spektakuler, maka ia merupakan sejatinya tarian, yakni
perpaduan antara hakiki gerak dan hakiki diam.
Bagi
mereka yang kurang peka dalam pengalaman seni, tarian ini akan membosankan.
Inilah teka-teki Tarian Panji dalam Topeng Cirebon. Bagaimana penduduk desa
mampu menciptakan tarian semacam itu? Penduduk desa yang tersebar di sekitar
Cirebon hanyalah pewaris dan bukan penciptanya. Penduduk desa ini adalah juga
penerus dari para penari Keraton Cirebon yang dahulu memeliharanya.
Ketika
Raja-raja Cirebon diberi status “pegawai” oleh Gubernur Jenderal Daendels, dan
tidak diperkenankan memerintah secara otonom lagi, maka sumber dana untuk
memelihara semua kesenian Keraton tidak dimungkinkan lagi. Para abdi dalem
Keraton terpaksa dibatasi sampai yang amat diperlukan sesuai dengan “gaji” yang
diterima Raja dari Pemerintah Hindia Belanda. Begitulah penari-penari dan
penabuh gamelan Keraton harus mencari sumber hidupnya di rakyat pedesaan.
Topeng Cirebon yang semula berpusat di Keraton-keraton, kini tersebar di
lingkungan rakyat petani pedesaan. Dan seperti umumnya kesenian rakyat, maka
Topeng Cirebon juga dengan cepat mengalami transformasi-transformasi. Proses
transformasi itu berakhir dengan keadaannya yang sekarang, yakni berkembangnya
berbagai “gaya” Topeng Cirebon, seperti Losari, Selangit, Kreo, Palimanan dan
lain-lain.
Untuk
merekonstruksi kembali Topeng Cirebon yang baku, diperlukan studi perbandingan
seni. Berbagai gaya Topeng Cirebon tadi harus diperbandingkan satu sama lain
sehingga tercapai pola dan strukturnya yang mendasarinya. Dengan metode
demikian, maka akan kita peroleh bentuk yang mendekati “aslinya”. Namun metode
ini tak dapat dilakukan tanpa berbekal dasar filosofi tariannya.
1) Dari
mana filsafat tari Topeng Cirebon itu dapat dipastikan?
Tentu
saja dari serpihan-serpihan tarian yang sekarang ada dan dipadukan dengan
konteks budaya munculnya tarian tersebut. Konteks budaya Topeng Cirebon tentu
tidak dapat dikembalikan pada budaya Cirebon sendiri yang sekarang. Untuk itu
diperlukan penelusuran historis terhadapnya.
2) Siapakah
Empu pencipta tarian ini?
Sampai
kapan pun kita tak akan mengetahuinya, lantaran masyarakat Indonesia lama tidak
akrab dengan budaya tulis. Meskipun budaya tulis dikenal di Keraton-keraton
Indonesia, tetapi tidak terdapat kebiasaan mencatat pencipta-pencipta kesenian,
kecuali dalam beberapa karya sastranya saja.
3) Di
zaman mana?
Kalau
pencipta tidak dikenal, sekurang-kurangnya di zaman mana Topeng Cirebon ini
telah ada? Kepastian tentang ini tidak ada. Namun ada dugaan bahwa di zaman
Raja Majapahit, Hayam Wuruk, tarian ini sudah dikenal. Dalam Negara kertagama
dan Pararaton dikisahkan raja ini menari topeng (kedok) yang terbuat dari emas.
Hayam Wuruk menarikan topeng emas (atapel, anapuk) di lingkungan kaum perempuan
istana Majapahit. Jadi Tari Topeng Cirebon ini semula hanya ditarikan para raja
dengan penonton perempuan (istri-istri raja, adik-adik perempuan raja,
ipar-ipar perempuan raja, ibu mertua raja, ibunda raja).
Dengan
demikian dapat diduga bahwa Topeng Cirebon ini sudah populer di zaman Majapahit
antara tahun 1300 sampai 1400 tarikh Masehi. Mencari dasar filosofi tarian ini
harus dikembalikan pada sistem kepercayaan Hindu-Budha-Jawa zaman Majapahit.
Tetapi mengapa sampai di Keraton Cirebon? Setelah jatuhnya kerajaan Majapahit
(1525), tarian ini rupanya dihidupkan oleh Sultan-sultan Demak yang mungkin
mengagumi tarian ini atau memang dibutuhkan dalam kerangka konsep kekuasaan
yang tetap spiritual. Dalam babad dikisahkan bahwa Raden Patah menari Klana di
kaki Gunung Lawu di hadapan Raja Majapahit, Brawijaya. Ini justru membuktikan
bahwa Topeng Cirebon erat hubungannya dengan konsep kekuasaan Jawa.Bahwa hanya
Raja yang berkuasa dapat menarikan topeng ini, ditunjukkan oleh babad, yang
berarti kekuasaan atas Jawa telah beralih kepada Raden Patah, dan Raja Majapahit
hanya sebagai penonton. Dari Demak tarian ini terbawa bersama penyebaran
pengaruh politik Demak. Demak yang pesisir ini memperluas pengaruh kekuasaan
dan Islamisasinya di seluruh daerah pesisir Jawa, yang ke arah barat sampai di
Keraton Cirebon dan Keraton Banten.
Inilah
sebabnya berita-berita Belanda menyebutkan keberadaan tarian ini di Istana
Banten. Banten dan Cirebon, sedikit banyak membawa kebudayaan Jawa-Demak,
terbukti dari penggunaan bahasa Jawa lamanya. Sedangkan Demak sendiri
dilanjutkan oleh Pajang yang berada di pedalaman, kemudian digantikan oleh
Mataram yang juga di pedalaman. Topeng Majapahit ini, dengan demikian, hanya
hidup di daerah pesisir Jawa Barat, sedangkan di Jawa pedalaman topeng tidak
hidup kecuali bentuk dramatik lakon Panjinya. Kalau topeng tetap hidup dalam
fungsi ritualnya, tentunya juga berkembang di kerajaan-kerajaan Islam Jawa
pedalaman. Rupanya topeng dipelihara di Jawa Barat karena pesona seninya.
Topeng sangat puitik dan kurang mengacu pada mitologi Panji yang hinduistik. Topeng
lebih dilihat sebagai simbol yang mengacu pada realitas transenden. Inilah
sebabnya sultan-sultan di Jawa Barat yang kuat Islamnya masih memelihara
kesenian ini.
Topeng
Cirebon adalah simbol penciptaan semesta yang berdasarkan sistem kepercayaan Indonesia
purba dan Hindu-Budha-Majapahit. Paham kepercayaan asli, di mana pun di
Indonesia, dalam hal penciptaan, adalah emanasi. Paham emanasi ini diperkaya
dengan kepercayaan Hindu dan Budha. Paham emanasi tidak membedakan Pencipta dan
ciptaan, karena ciptaan adalah bagian atau pancaran dari Sang Hyang Tunggal.
4) Siapakah
Sang Hyang Tunggal itu?
Dia
adalah ketidak-berbedaan. Dalam diri-Nya adalah ketunggalan mutlak. Sedangkan
semesta ini adalah keberbedaan. Semesta itu suatu aneka, keberagaman. Dan
keanekan itu terdiri dari pasangan sifat-sifat yang saling bertentangan tetapi
saling melengkapi. Pemahaman ini umum di seluruhIndonesia purba, bahkan di Asia
Tenggara dan Pasifik. Dan filsuf-filsuf Yunani pra-Sokrates, filsuf-filsuf
alam, juga mengenal pemahaman ini.
Boleh
dikatakan, pandangan bahwa segala sesuatu ini terdiri dari pasangan kembar yang
saling bertentangan tetapi merupakan pasangan, adalah universal manusia purba. Sang
Hyang Tunggal Indonesia purba ini mengandung semua sifat ciptaan. Karena semua
sifat yang dikenal manusia itu saling bertentangan, maka dalam diri Sang Hyang
Tunggal semua pasangan oposisi kembar tadi hadir dalam keseimbangan yang
sempurna. Sifat-sifat positif melebur jadi satu dengan sifat-sifat negatif.
Akibatnya semua sifat-sifat yang dikenal manusia berada secara seimbang dalam
diri-Nya sehingga Sifat itu tidak dikenal manusia alias Kosong mutlak.
Paradoksnya justru Kosong itu Kepenuhan sejati karena Dia mengandung semua
sifat yang ada. Kosong itu Penuh, Penuh itu Kosong, itulah Sang Hyang Tunggal
itu. Di dalam-Nya tidak ada perbedaan, tunggal mutlak. Di Cina purba, Sang Hyang
Tunggal ini disebut Tao.
Topeng
Cirebon menyimbolkan bagaimana asal mula Sang Hyang Tunggal ini memecahkan diri-Nya
dalam pasangan-pasangan kembar saling bertentangan itu, seperti terang dan
gelap, lelaki dan perempuan, daratan dan laut. Dalam tarian ini digambarkan
lewat tari Panji, yakni tarian yang pertama.
Tarian
Panji ini merupakan masterpiece rangkaian lima tarian topeng Cirebon. Tarian
Panji justru merupakan klimaks pertunjukan. Itulah peristiwa transformasi Sang
Hyang Tunggal menjadi semesta. Dari yang tunggal belah menjadi yang aneka dalam
pasangan-pasangan. Inilah sebabnya kedok Panji tak dapat kita kenali secara
pasti apakah itu perwujudan lelaki atau perempuan. Apakah gerak-geriknya lelaki
atau perempuan. Kedoknya sama sekali putih bersih tanpa hiasan, itulah Kosong. Gerak-gerak
tariannya amat minim, namun iringan gamelannya gemuruh. Itulah wujud paradoks
antara gerak dan diam. Tarian Panji sepenuhnya sebuah paradoks. Inilah
kegeniusan para empu purba itu, bagaimana menghadirkan Hyang Tunggal dalam
transformasinya menjadi aneka, dari ketidak berbedaan menjadi
perbedaan-perbedaan.
Itulah
puncak topeng Cirebon, yang lain hanyalah terjemahan dari proses pembedaan itu.
Empat tarian sisanya adalah perwujudan emanasi dari Hyang Tunggal tadi. Sang
Hyang Tunggal membagi diri-Nya ke dalam dua pasangan yang saling bertentangan,
yakni “Pamindo-Rumyang”, dan “Patih-Klana”. Inilah sebabnya kedok
“Pamindo-Rumyang” berwarna cerah, sedangkan “Patih-Klana” berwarna gelap (merah
tua). Gerak tari “Pamindo-Rumyang” halus keperempuan-perempuanan, sedangkan
Patih-Klana gagah kelaki-lakian. Pamindo-Rumyang menggambarkan pihak “dalam”
(istri dan adik ipar Panji) dan Patih-Klana menggambarkan pihak “luar”. Terang
dapat berarti siang, gelap dapat berarti malam. Matahari dan bulan. Tetapi
harus diingat bahwa semuanya itu adalah Panji sendiri, yang membelah dirinya
menjadi dua pasangan saling bertentangan sifat-sifatnya.
Inilah
sebabnya keempat tarian setelah Panji mengandung unsur-unsur tarian Panji.
Untuk hal ini orang-orang tari tentu lebih fasih menjelaskannya. Topeng Panji
menyimbolkan peristiwa besar universal, yakni terciptanya alam semesta beserta
manusia ini pada awal mulanya. Topeng Panjing atau topeng Cirebon ini
mengulangi peristiwa primordial umat manusia, bagaimana “penciptaan” terjadi.
Tidak mengherankan kalau dizaman dahulu hanya ditarikan oleh para raja. Raja
mewakili kehadiran Sang Hyang Tunggal itu sendiri, karena dalam paham kekuasaan
Jawa, Raja adalah Dewa itu sendiri, yang dikenal dengan paham dewa-Raja. Topeng
Cirebon adalah gambaran sangat puitik tentang hadirnya alam semesta serta umat
manusia. Sang Hyang Tunggal yang merupakan ketunggalan mutlak tanpa pembedaan,
berubah menjadi keanekaan relatif yang sangat berbeda-beda sifatnya.
Tari
Panji adalah tarian Sang Hyang Tunggal itu sendiri, dan tarian-tarian lainnya
yang empat adalah perwujudan dari emanasi diri-Nya menjadi pasangan-pasangan
sifat yang saling bertentangan. Topeng Cirebon adalah tarian ritual yang amat
sakral. Tarian ini sama sekali bukan tontonan hiburan. Itulah sebabnya dalam
kitab-kitab lama disebutkan, bahwa raja menarikan Panji dalam ruang terbatas
yang disaksikan saudara-saudara perempuannya. Untuk menarikan topeng ini
diperlukan laku puasa, pantang, semedi, yang sampai sekarang ini masih dipatuhi
oleh paradalang topeng di daerah Cirebon. Tarian juga harus didahului oleh
persediaan sajian. Dan sajian itu bukan persembahan makanan untuk Sang Hyang
Tunggal. Sajian adalah lambang-lambang dua lisme dan pengesaan.
Inilah dijumpai bedak, sisir, cermin yang merupakan
lambang perempuan,didampingi oleh cerutu atau rokok sebagai lambang lelaki.
Bubur merah lambang dunia manusia, bubur putih lambang Dunia Atas. Cowek batu
yang kasar sebagai lambang lelaki, dan uleg dari kayu yang halus sebagai
lambang perempuan. Pisang lambang lelaki, buah jambu lambang perempuan. Air
kopi lambang Dunia Bawah, air putih lambang Dunia Atas, air teh lambang Dunia
Tengah. Sesajian adalah lambang keanekaan yang ditunggalkan.
2.8 Tari Topeng Cirebon Gambaran Hidup Manusia
Perayaan
peringatan kemerdekaan Republik Indonesia, setiap tanggal 17 Agustus, kadang
memacu perorangan, instansi pemerintah atau pihak swasta, dan sebagainya,
dengan menampilkan berbagai atraksi atau pameran, untuk ikut memeriahkannya.
Maka tidak aneh pula, agar partisipasi perayaan dianggap meriah dan memikat,
ditampilkan sesuatu yang dianggap ganjil. Sesuatu yang dianggap baru dan
benar-benar menarik perhatian. Itu dilakukan pula oleh Kepala Desa Selangit,
Kecamatan Klangenan, Kabupaten Cirebon. Untuk memeriahkan dirgahayu Republik
ini, di desanya ditampilkan kesenian khas dari daerah itu, yakni Tari Topeng.
Tidak tanggung-tanggung, salah satu penarinya pun seorang wanita bule. Agar
diketahui dan dipuji penduduk desa lain, kepala desa memerintahkan anak buahnya
menyiarkan ke desa-desa sekitar, menggunakan pengeras suara.
Ketika
pertunjukkan berlangsung, penduduk Desa Selangit dan desa-desa sekitarnya,
terheran-heran melihat seorang wanita asing di daerah mereka. Lebih membuat
heran lagi, wanita asal Amerika Serikat itu, mahir menarikan tari topeng babak
demi babak. Peristiwa yang terjadi 1972 itu, menunjukkan betapa tarian salah
satu kekayaan budaya Indonesia ini, sebenarnya telah menggugah rasa ingin tahu
bangsa-bangsa lain. Sejak tahun itu, ke Desa Selangit sering berdatangan calon
penari atau penari betulan dari luar negeri, terutama Amerika Serikat. Mereka
datang baik sekedar menambah pengetahuan, atau berguru dan berlatih langsung di
desa itu. Selesai mempelajarinya, pengetahuan luar dalam tarian tersebut,
dibawa jauh ke negara asal. Entah untuk dikembangkan ataupun lebih diperdalam
lagi. Atau mungkin juga diciptakan kreasi baru,dengan segala improvisasi baru
pula.
Penduduk
Selangit, kini tidak lagi heran, jika kampung merekadidatangi pria atau wanita
kulit putih. Karena telah berkali-kali desa yang terletak di pedalaman
Kecamatan Klangenan, Kabupaten Cirebon, didatangi "wong welanda-wong
welanda" itu. Desa Selangit memang salah satu pusat kesenian tradisional
tersebut. Hingga tidak aneh, apabila menarik para pemerhati Tari Topeng.
Desa
ini memang dianggap sebagai tempat cikal bakal, pembawa tarian tunggal tersebut
ke daerah Cirebon. Diperkirakan, sejak jaman para wali mengembangkan ajaran
agama Islam dulu. Keturunannya masih ada di Selangit, dan hingga kini tetap
menekuni warisan budaya leluhur ini. Keturunan yang masih setia membawakan dan
menekuni tari topeng adalah sanak keluarga almarhum Ardja, yang tetap tinggal
di desa itu. Tiga orang anak kandungnya, sampai kini masih tetap setia
menggeluti, yakni Sudjaya, Sudjana, dan Keni. Bahkan keahlian menari topeng,
telah diwarisi sebagian dari anak-anak mereka.
Keahlian
membawakan tari topeng, telah membuat salah seorang diantara tiga kakak beradik
teresbut, yakni Sudjana Ardja (55), mengunjungi Manca negara. Sebagai salah
seorang duta budaya Indonesia ke negara Paman Sam, terakhir kali Sudjana
berangkat 23 Februari 1991 lalu. Dia memperlihatkan keahlian yang dimiliki, di
11 kota yang dikunjungi, bersama adiknya Keni dan rombongan penabuh gamelannya.
Ketika ditemui Kompas bulan puasa lalu, Sudjana Ardja sedang termenung di kursi
ruang tamu rumahnya. Alunan gamelan, terdengar dari tape recorder di atas
lemari kayu di bagian sudut ruang tamu rumahnya, yang berukuran sekitar tiga
kali empat meter. "Saya baru saja mengajarkan salah satu babak tari
topeng, kepada salah satu anak saya yang masih duduk di kelas enam SD,"
ujar ayah 7 anak, 6 cucu, dari 4 istri tersebut. Melatih anak sendiri agar
mengerti dan menguasai tari topeng, rupanya dianggap salah satu jalan yang
dilakukan Pak Djana demikian panggilan akrabnya supaya kesenian khas itu tidak
hilang dan terus dilestarikan.
Karena
seperti penuturan dirinya, "Tari Topeng Cirebon, merupakan salah satu
darisekian banyak jenis tari yang mempunyai kekhasan tersendiri. Tari Topeng Cirebon
terdiri dari lima babak, yang berkaitan satu sama lain, dan melambangkan
berbagai karakter manusia. "Menurut Djana, lima babak dalam tarian ini
terdiri atas, Tari Panji, Samba, Rumyang, Patih/Tumenggung, dan Kelana.
Jenis-jenis tarian ini secara filsafat menggambarkan kehidupan manusia.
a) Tari Panji
melambangkan penggambaran manusia yang dianggap suci, dan seorang pemimpin yang
adil, arif bijaksana dan menjalankan perbuatan baik (amar maruf nahi munkar).
b) Tari Samba
menggambarkan gemerlapnya keduniawian seperti harta kekayaan.
c) Tari Rumyang,
melambangkan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
d) Tari Patih
merupakan gambaran dari sikap kedisiplinan prajurit dan kepahlawanan yang gagah
berani.
e) Tari Kelana,
menggambarkan watak manusia serakah, angkara murka, namun juga seorang pemimpin
dengan memiliki keduniawian sangat tangguh.
Waktu
yang diperlukan untuk keseluruhan tarian ini, sekitar lima jam. Dan agar tarian
lebih hidup serta penarinya dapat menyatu, diperlukan bermacam sesajian. Namun
kadangkala, pementasan seluruh babak yang komplit dengan semua lakon tarian,
terbentur masalah waktu. Hal itu dirasakannya, ketika dia menjadi duta kesenian
di Amerika Serikat tempo hari. Karena sempitnya waktu, lima babak tarian itu dibawakannya
dalam waktu yang dipadatkan, sekitar satu jam. Kesulitan lain membawakan tarian
ini, murni lima babak dengan komplit, dialami saat bersama kelompoknya mengisi
pementasan di tempat-tempat hajatan orang yang menggunakan kelompoknya. Atau
pada saat mengisi acara-acara resmi, baik di keraton-keraton di Cirebon ataupun
di instansi-instansi pemerintah. Hanya sekadar untuk menarik perhatian, dan
agar "tetap laku", Tarian babak-demi babak ini, diselingi dagelan
dengan bodoran Pertunjukan ini pun dilakukan kelompok-kelompok kesenian yang
sama lainnya. Alasannya sama, agar "tetap laku" dan ditonton. Ada
semacam "rasa gundah" dan "rasamenggugat", dalam diri
laki-laki berusia cukup lanjut ini. Perasaan yang timbul tentang kelestarian
kesenian tradisional khas Cirebon tersebut. Banyak faktor memang, namun yang
paling dirasakannya adalah perhatian dari yang berkompeten, yang dirasakan
masih kurang. Salah satu di antaranya, ketiadaan sanggar seni yang cukup representatif
dalam upaya pembinaan. Khusus di tempat asalnya, selama ini hanya menggunakan
sanggar darurat di teras rumahnya. Tidak terlalu luas, hanya sekitar dua kali
tiga meter, dengan penutup krei bambu di salah satusisinya. " Selain itu
kami pun membutuhkan seperangkat gamelan.
Lho
gimana mau lestari kesenian ini, jika penunjangnya tidak memadai, "ujarnya
balik bertanya. Meski dengan peralatan dan tempat berlatih seadanya, namun
karena dorongan darah seni yang begitu lekat menyatu dalam dirinya, Sudjana
Ardja tetap tekun dan berupaya mendidik tunas-tunas muda penerusnya kelak. Jiwa
seni yang membuatnya tetap bertahan. Dan salah satu upayanya, mendidik salah
seorang anaknya yang berusia 12 tahun itu. Sudjana sendiri, mulai menekuni
kesenian ini sejak dia masih seusia anaknya tersebut.
Dia
memulainya dengan ikut rombongan tari topeng milik orang tuanya bersama salah
seorang kakak dan adiknya, Sudjaya dan Keni, yang keluar masuk kampung,
memenuhi permintaan orang-orang yang sedang punya hajat, baik khitanan atau
pernikahan. Kedua saudaranya itu, sampai saat ini masih pula aktif memenuhi
panggilan tarian topeng. Dunia panggung tradisional tersebut, terus digeluti Djana
sampai sekarang. Tentu dengan pasang surutnya dunia pentas tarian tradisional
itu pula. Dunia yang juga membawa perjalanan laki-laki berambut ikal, dengan
sebagian gigi hitam kena asap rokok ini, berkenalan dengan sekian banyak
wanita. Empat orang di antaranya, dijadikannya istri. "Sayarasa itu cukup.
Istri saya terakhir yang hidup serumah sekarang, akan saya jadikan pelabuhan
terakhir rumah tangga saya," tuturnya.
Tari
Topeng sampai saat ini masih hidup dalam dunia seni masyarakat Cirebon, dalam
bentuk kelompok-kelompok kesenian yang tumbuh di kampung-kampung. Terbanyak
tetap di Desa Selangit, yang dianggap sebagai tempat cikal bakal kesenian itu
lahir. Selebihnya kesenian ini menyebar pula ke Desa Gegesik, Kecamatan Arjawinangun,
Kabupaten Cirebon, yang dianggap masih punya pertalian erat leluhur dengan
Selangit. Dapat disebut pula kelompok-kelompok kesenian itu di Juntinyuat,
Kabupaten Indramayu, Kabupaten Majalengka, Palimanan dan Jamblang, Kabupaten
Cirebon. Dan ada satu lagi di Losari, Kabupaten Cirebon. Namun di tempat
terakhir ini, tidak dikenal pementasan dalam babak demi babak, tetapi dalam
bentuk cerita. Selain itu menurun Sudjana Ardja,Tari Topeng masih dilestarikan
lewat latihan di beberapa sanggar seni di kota Cirebon. Tidak ketinggalan pula,
Tari Topeng diajarkan di ASTI (Akademi Seni Tari Bandung). Djana pun merupakan
salah satu dosen panggil diakademi itu. Meski diakuinya, kini hanya sebagai
salah seorang penguji, yang hanya datang sekali waktu bila diperlukan. Seperti
halnya ketika dia hanya diperlukan, sebagai salah seorang yang dianggap mampu
memperagakan serta menunjukkan bahwa Tari Topeng masih ada dan tetap hidup.
Menunjukkan bahwa tarian itu adalah salah satu peninggalan kesenian tradisional
di negara ini, yang perlu dilestarikan.
2.9 Maestro Tari Topeng Cirebon
Setiap
kali ada seseorang yang hingga akhir hayatnya tetap kukuh memilih dunianya
menjadi bagian dari "ritus kehidupan", setiap kali ada seseorang yang
selama hayatnya meletakkan hampir seluruh kreativitasnya menjadi representasi
dari segenap "totalitas kehidupan", setiap kali pula seseorang itu,
tanpa pamrih, dengan tulus mengajarkan serta merelakan dirinya hanya untuk kesenian
dan berdiri sebagai seniman yang dengan karya-karyanya sebuah bangsa, di antara
sekian karya yang lain, dihabiskan berbudaya dan memiliki spirit peradaban.
Adakah kita bisa meletakkan kembali penghormatan dengan secercah ketulusan yang
sama? Kami kira, kita --siapa pun kita pada konteks maknanya yang diperluas dalam
posisi sebagai pejabat negara, politisi, pengusaha atau apa pun--kesulitan
untuk menjawab esensi pertanyaan tadi dengan baik. Bahkan ada berbagai
pertanyaan serupa yang sama sekali kita tidak bisa memberi jawaban tepat.
Seperti halnya pertanyaan berikut, apakah peran seniman memang senantiasa
berada di luar hiruk-pikuk kebijakan negara? Apakah karya-karya seni tidak
menjadi bagian signifikan dalam subsistem wacana kebudayaan suatu pemerintahan?
Seniman, terlebih pada mereka yang memilih genre seni tradisi lengkap dengan
membawa khazanah lokal yang menjadi bagian substantif didalamnya, tampak
mengalami dilema di sana-sini dalam menghadapi perubahan zaman.
Sejumlah
seni tradisi yang merupakan "ikon" dan "akar" dalam
konstruk budaya tradisional masyarakat, kita tahu, berada pada posisi marginal
dan feriferal. Dan, ironisnya, justru seni-seni tradisi yang semula menjadi
simbol dalam penyeimbang (equilibrium) seni-seni yang dinilai sebagai sentral
(adiluhung). Kematian yang Sunyi Sujana Arja, atau akrab dipanggil Mang Jana,
adalah maestro penari topeng yang Senin (10/4/2006) baru saja wafat dengan usia
di atas 70 tahun. Suatu kematian yang sunyi yang menyisakan jejak panjang
silsilah dari salah satu dinamika, stilistika, maupun estetika tari topeng
Cirebon: bagaimana tari topeng "gaya Slangit" membentuk dirinya dan
mempertahankan eksistensinya sekaligus. Bahkan dengan keteguhan seperti itu, ia
tidak peduli apakah negaranya memberi perhatian terhadap salah satu warisan
seni tradisi bangsanya atau tidak; apakah pemerintah daerahnya memahami atau
tidak, bagaimana seharusnya menyusun grand strategy apa yang diklaim para
birokrat sebagai "pelestarian" seni tradisi.
Sujana
dengan kehidupan yang sangat sederhana mampu bertahan untuk tidak bergeser
sedikit pun dari pengabdian hampir seluruh gerak dirinya pada khazanah seni
tradisi tari topeng yang diwariskan keluarga besar maestro penari topeng Arja.
Sejak 1973, Sujana berlatih, mengajarkan lima wanda tari topeng dan menempati
sanggar tari Panji Asmara yang berada di pengujung utara desa Slangit yang
kiri-kanannya masih berupa semak perdu, rumpun bambu, jalan setapak, dan
hamparan sawah. Kecuali menari, ia tidak pernah memilih profesi selainnya,
apalagi sekadar untuk menyelesaikan yang primer dan sekunder dalam kehidupannya
selama ini. Sujana telah melanjutkan proses regenerasi dan genealogi dari
cikal-bakal tari topeng Cirebon. Bersama dengan beberapa tokoh tari topeng segenerasinya
seperti, Sawitri (gaya Losari), Tarwi (Kreo), Sudji dan Dasih (gaya Palimanan)
mengukuhkan tari topeng Cirebon dengan gaya masing-masing.
Sehingga
meninggalnya almarhum Sujana, menandai berakhirnya generasi kedua tari topeng
Cirebon yang kini, mau tidak mau, diteruskan anak-cucu mereka. Tradisi tari
topeng --seperti seni-seni tradisi lain, mungkin agak mirip dengan perguruan
shaolin yang memiliki keniscayaan untuk melahirkan sejenis "pendekar"
sebagai generasi penerus yang eksploratif, andal, kukuh, teguh dalam menerima
seluruh estafet dari dalam pepakem seni tradisi tersebut. Setidaknya, jika
generasi tari topeng Slangit pasca-Sujana tidak segera menata berbagai
instrumen dalam perjalanannya ke depan akan menghadapi tantangan budaya global
yang mereduksi pandangan publiknya sedemian rupa. Dikhawatirkan tari topeng
Cirebon yang tumbuh dengan latar serta beragam gaya yang bertolak dari
eksplorasi maupun improvisasi tokohnya akan kehilangan generasi (lost
generation). Sehingga beberapa gaya tari topeng Cirebon yang pernah tumbuh pada
beberapa daerah dengan beragam gaya, sebut saja Kalianyar, Gegesik, Palimanan,
Babakan, Kreo, dan Gujeg, tampak "ditinggalkan" generasi
penerusnya.Tari topeng "gaya Slangit" --diambil dari muasal nama desa
tempat proses kreatif keluarga besar maestro tari topeng Arja (ayahanda dan
pendahulu Sujana) sebagai Generasi Pertama-- menjadi tonggak penting bagi sembilan
anak-anaknya; Sutija, Suwarti, Suparta, Sujaya, Sujana, Rohmani, Roisi, Durman,
dan Keni, yang semuanya berhasil menjadi penari topeng.
Meski
dari ke sembilan anaknya, Sujana yang kelak tampil dan dikenal publik luas
sebagai seorang maestro. Sujana memulai proses kreatifnya untuk menjadi maestro
sejak berusia 10 tahun yang mengikuti bebarang (ngamen) bersama ayahnya.
Kemudian atas prakarsa Pangeran Patih Ardja dari Kesultanan Kanoman, sekitar
tahun 1940-an, keduanya tampil dalam berbagai perhelatan ritual tradisi
dilingkungan keraton. Pada usia 17, Sujana dilepaskan secara mandiri untuk
menerima tanggapan (order hajatan) dan melakukan bebarang hingga ke luar daerah (Indramayu, Majalengka
Sumedang, Bandung, Garut, Cianjur, Banten) sebagai bagian dari proses
manunggaling lelaku (menyatukan jiwa-raga dengan filosofi tari topeng dalam
konteks kehidupan) --yang tidak dapat ditempuh melalui intellectual exercises dari
wilayah dan norma-norma akademis. Karena itu, kita yang pernah menyaksikan
pementasan Sujana, Sawitri, Sudji, Dasih atau Mimi Rasinah maestro penari
topeng dari Pakandangan Indramayu akan tampak kekuatan tarian yang melampaui
fase-fase "batasnalar" dari kelincahan gerak penari yang memasuki
usia uzur. Energitas dan kreativitas menyatu dengan spiritualitas ruh
penciptaan. Begitu juga totalitas dan sinergitas menemukan ruang batin: di mana
ekstase menyusun maknanya yang transenden dan tidak lagi samar-samar
tersembunyi.
Hampir
para maestro yang membuka ruang batinnya untuk selalu berada pada kosmos
pergulatan kreatif akan memperlihatkan puncak dimensi penciptaan ruhani yang
dahsyat dan menakjubkan. Dan, Mang Jana dalam sebuah percakapan kecil dengan
penulis, menolak persepsi yang semata mengacu pada asumsi akademis yang menilai
pencapaian transenden dapat dimanipulasi melalui pemahaman sains, tanpa
memasuki proses logosentrisme yang menjadikan seniman berada dalam fase
pemahaman empirik-kognitif (ngangsu kaweruh). Dalam perspektif inilah, Sujana
hendak menegaskan bahwa proses kreatif yang hanya kukuh sebatas asumsi-asumsi
akademis, berakhir dalam pemahaman formalnya sendiri: tari topeng akan lebih
tampak sebagai pola- pola gerakan ritmis yang penuh citraan (images) gerak
tubuh dalam filosofi makna dan tata aturan bunyi gamelan. Namun kehilangan ruh
pencitraannya sendiri, yang menyebabkan gerakan-gerakan tarian tampak ringan
dan mekanik. Melalui proses panjang manunggaling lelaku dan ngangsu kaweruh ,seorang
penari topeng akan menemukan titik pencitraan berbagai dimensi penciptaan yang
bersenyawa dengan totalitas jiwa-raga. Pribadi yang Tulus Dalam kurun waktu
cukup panjang dan berliku, Sujana Arja, empu tari topeng Slangit itu, telah
menyiratkan dirinya menjadi pribadi yang tulus. Ia bukan saja berdiri sebagai
seorang maestro, melainkan juga guru untuk
banyak muridnya (dalam dan luar negeri) yang sungguh-sungguh telah mengabdikan
serta mengabadikan kehidupannya pada seni tradisi. Meski, ia tahu, dengan sikap
penuh-seluruh, terlebih lagi ia sadari tanpa jaminan hari tua dari mana pun
termasuk pemerintah seorang seniman justru akan terus berada dalam suasana
"mencipta". Masih teringat, ketika tahun 2000 Sujana Arja terpilih
sebagai seniman pertama yang menerima Anugerah Seni DKC-Award. Terlihat sepasang
matanya yang mulai tampak renta, berkaca-kaca. Dan yang menakjubkan, seusai
menerima trofi perunggu berwarna kuning keemasan berlogo kepala pak sinagaliman,
tiba-tiba sang maestro menari topeng rumyang secara trance dengan tangan
kirinya memegang trofi perunggu seberat 2,5 kg, berputar-putar seolah hendak
menyatakan dirinya ke arah kerumunan penonton. Malam itu, kami seperti
menyaksikan sebuah momen pertunjukkan dengan kecanggihan gerakan tubuh memainkan
kilasan improvisasi yang menghadirkan perpaduan dua sisi ekspresi yang
menghantarkan unsur-unsur modernitas dalam teater dan seni tradisi yang patuh
pada pepakem.
Sebagaimana
tarian rumyang yang melambangkan filosofi kehidupan manusia dengan paradoks dua
karakter yang berseberangan: antara ganjen dan gagah,antara sama badan
tumenggung yang dimainkan secara
sempurna.Setelah pertunjukan tari topeng usai, Sujana, dengan sikap seorang maestro,
berjalan terbungkuk-bungkuk penuh kesantunan melewati kerumunan penonton yang
masih menyisakan riuh kekaguman. Gerak tubuhnya yang gagah di panggung,
seketika berubah menjadi sangat perlahan. Ia tetap seorang kakek yang
rendah-hati. Dari raut wajahnya yang tulus itulah,kami belajar memahami
keteladanan sikap seorang maestro yang teguh dan kukuh hingga akhir hayatnya. Beberapa
hari kemudian, kami bersilaturahim ke rumahnya mungkinlebih tepat ke
sanggarnya: Sanggar Panji Asmara di desa Slangit Sujana sedang duduk termenung
di kursi kayu dengan latar belakang gamelan yang mulai kusam, berbagai piagam
penghargaan tanpa figura yang sengaja ditempel begitu saja di dinding, di
antara bangunan sanggar yang masih belum sepenuhnya selesai tertata.
Dari
situlah, kami tahu, Sujana terus gelisah dengan masa depan tari topeng Cirebon,
juga seni tradisi lain, kini memasuki lorong panjang seni- budaya global yang
bergemuruh dan mencengangkan. Maestro itu, dengan suara lirih bergumam, "Kulae
nggereges ningali keadaan seniki. Pripun mengkine nasib seni tradisi kados tari
topeng Slangit kuh?" (Saya sangat sedih melihat kondisi sekarang.
Bagaimana nanti nasib seni tradisi seperti tari topeng itu?). Selamat jalan
Mang Jana, selamat jalan maestro. Percayalah, salah seorang anakmu yang juga
murid setiamu, Inu Kertapati bagaimanapun merupakan salah seorang penari topeng
muda Cirebon yang sangat diperhitungkan-- ia, seperti juga ayahnya, akan kukuh
meneruskan silsilah keluarga besarmu sebagai penari topeng dan meneguhkan
dirinya menjadi Generasi Ketiga keluarga maestro Arja.
2.10
Tari
Topeng Cirebon Bertahan dari Kepunahan
Menurut
Sujana, tradisi yang ada pada tari topeng sudah tidak sama dengan waktu ketika
ia menari dulu. Selain banyak orang yang hanya asal bisa menarikan dan tuntutan
masyarakat agar tari topeng diubah atau dimodifikasi, ternyata ada banyak tata
cara dan tradisi yang harus dihilangkan mengikuti arahan pemerintah. Ada tiga
hal yang harus diubah oleh Sujana beserta kelompok tarinya, yaitu ketentuan
tidak boleh ngamen dari rumah ke rumah atau lazim dikenal dengan istilah
bebarang, tidak boleh pakai kaus kaki ketika menari, dan harus mengganti baju
berwarna hitam dengan baju yang lebih meriah. Menyebarkan agama Pada awalnya,
tari topeng digunakan untuk menyebarkan agama dengan datang ke rumah seseorang
dengan mengharapkan pemilik rumah bisa membawakan doa syahadat.
Namun
dalam perkembangannya, pembacaan syahadat memang tidak dikembangkan lagi, tapi
diganti dengan bebarang ketika musim panen padi tiba. Bila musim panen tiba, Sujana
dan kelompok tarinya datang dari rumah ke rumah untuk mengamen. Ketika itu,
mereka dibayar dengan padi sistem bakdeng, satu bedeng atau sekitar 30 kilogram
padi untuk satu babak. Selain itu, pemakaian kaus kaki putih juga dilarang.
Pasalnya, pemerintah menganggap kaus kaki putih adalah simbol orang-orang penganut
komunis. Padahal, kaus kaki putih tersebut merupakan simbol kesucian seseorang,
lebih dari sekadar aksesoris. Seorang dalang yang akan menari harus suci hati
dan pikirannya. Dalam hal ini disimbolkan dengan kaus kaki berwarna putih.
Sedangkan aturan baru lainnya adalah perihal baju yang harus dibuat lebih
berwarna, tidak polosan dengan warna hitam. Padahal awalnya, warna polos itu
menyimbolkan kesederhanaan bagi dalangnya agar nantinya para penonton tari
tersebut dapat meniru cara hidup sederhana. "Saya waktu itu sampai
sekarang ikut saja. Padahal, saya tahu kalau diubah, pastinya ada pesan
tertentu yang akan hilang. Tapi mau bagaimana lagi namanya juga orang
takut," ujar Sujana Arja.
Akan
tetapi, gagasan perubahan yang digulirkan tidak sejalan dengan nasib tari
topeng Cirebon. Akhir-akhir ini, sajian tari topeng Sujana beserta kelompok
tari Panji Dharma mulai ditinggalkan masyarakat. "Terakhir kali menerima
order bayaran Rp 30 juta. Tapi sekarang uangnya sudah habis karena harus dibagi
rata dengan personel lainnya yang jumlahnya sekitar 30 orang. Kalau sudah
begitu, saya terpaksa utang tetangga karena sudah tidak ada yang tersisa dari
saya untuk membiayai hidup sehari-hari," katanya. Harus bersaing Menurut
Inu Kertapati-dalang tari topeng lainnya-berbeda dengan dulu, setiap hari
selalu saja ada orang yang memintanya untuk menarikan tari topeng. Baik
khitanan, pernikahan, maupun selamatan rumah, biasanya tari topeng selalu hadir
dan diminati masyarakat. "Kami sangat sadar kalau sekarang kami harus bersaing
dengan kesenian yang kata orang lebih baru seperti modern dance atau organ
tunggal. Tapi apakah suatu kesalahan bila kami ingin tetap pertahankan tradisi
turun-temurun ini" ujar Inu, anak ketiga dari Sujana Arja.
Selain
itu, menurut Inu, kepunahan tari topeng bisa saja lebih cepat terjadi.
Pasalnya, selama ini tari topeng Cirebon hanya ditampilkan pada waktu tertentu.
Akibatnya minat dan pengetahuan masyarakat terhadap tari topeng semakin
berkurang. Tari topeng biasanya hanya muncul saat even kejuaraan dan acara yang
diselenggarakan pihak Keraton di Cirebon. Di luar itu, tari topeng masih sulit ditemukan.
Biaya yang mahal dan adanya kesenian lain yang lebih modern membuat masyarakat
mulai meninggalkan tari topeng Cirebon. Kesenian di Jawa Barat setidaknya
memiliki 35 rumpun seni, yang terdiri dari 391 jenis kesenian. Dari jumlah itu,
100 jenis kesenian berkembang di masyarakat, 39 diantaranya sangat berkembang.
Kesenian
yang sangat terkenal di Jabar adalah Jaipongan. Kesenian ini berkembang, antara
lain di Kota Bandung, Cimahi, Tasikmalaya, Majalengka dan Bekasi. Kesenian lain
yang menjadi ciri khas Jabar adalah tembang sunda, tayub, wayang golek, reog,
calung, angklung/arumba, dan sintren. Di wilayah Cirebon terkenal dengan
kesenian topeng Cirebon, tarling, gembyung, dan wayang kulit. Sementara untuk
daerah Kuningan dan Indramayu jenis kesenian seperti sandiwara, sintren, kuda
lumping juga berkembang baik. Sementara di Sukabumi, potensi seni yang ada
antara, lain uyeg, cador, kliningan, kecapi suling, calung, debus, dan ketuk
tilu. Adapun kesenian yang berkembang di Karawang dan Subang, antara lain
bajidoran, dombret, dan kesenian sisingaan. Jumlah seniman di Jabar sebanyak
49.023 orang dan hingga kini masih aktif.
2.11
Jenis
Tari Topeng Cirebon
Semua
jenis topeng ini akan dikenakan pada saat pementasan tari topeng Cirebonan yang
diiringi dengan gamelan. Tepeng Cirebon yang paling pokok ada lima yang disebut
juga Topeng
Panca Wanda :
1. PANJI
“wajahnya yang putih bersih melambangkan kesucian bayi yang baru lahir. Tari
topeng ini berkarakter halus. Ditampilkan pada kesempatan pertama. Menurut
mereka, Panji berasal dari kata siji (satu, atau pertama), mapan sing siji
(percaya kepada Yang Satu). Gerak tarinya senantiasa kecil dan lembut,
minimalis dan lebih banyak diam. Kata Mutinah (dalang topeng asal Gegesik,
Cirebon), menarikan topeng Panji itu kaya wong urip tapi mati, mati tapi urip.
Ungkapan tersebut adalah untuk menjelaskan, bahwa topeng Panji itu memang tidak
banyak gerak, seperti orang yang mati tapi hidup, hidup tapi mati.
Koreografinya lebih banyak diam, dan inilah sebagai salah satu hal yang
menyebabkan tari ini kurang disukai oleh penonton, terutama penonton awam. Tari
ini diiringi oleh beberapa lagu yang terangkai menjadi satu struktur musik yang
panjang dan sulit. Lagu pokoknya disebut Kembang Sungsang yang dilanjutkan
dengan lagu lontang gede, oet-oetan, dan pamindo deder.Kecuali di Losari, para
dalang topeng Cirebon pada umumnya tidak mengaitkan tariannya dengan tokoh
Panji seperti dalam cerita Panji. Artinya, nama tari tersebut bukan sebagai
gambaran tokoh Panji. Kata Panji hanya dipinjam untuk menyatakan salah satu
karakter tari yang halus, yang secara kebetulan karakternya sama tokoh Panji.
Berbeda dengan di Losari, dan sepanjang yang diketahui saat ini, topeng di
daerah ini adalah satu-satunya gaya yang tidak menampilkan kedok Panji sebagai
tari yang ditampilkan pada bagian pertama (babakan). Gaya ini tidak sebagaimana
lazimnya tari topeng di daerah lain. Kedok Panji justru ditarikan dalam sebuah
lakonan dan penarinya benar-benar memerankan tokoh Panji.”
2. Samba (Pamindo),
topeng anak-anak yang berwajah ceria, lucu, dan lincah. Kata Pamindo, di
kalangan seniman topeng Cirebon, berasal dari kata pindo, artinya kedua. Kata
pindo, umumnya sangat berkaitan dengan urutan penyajian topeng Cirebon itu
sendiri, yang artinya juga sama dengan penyajian tari bagian (babak) kedua.
Akan tetapi, khusus untuk topeng gaya Losari, tarian tersebut justru ditarikan
pada bagian pertama dan digambarkan sebagai tokoh Panji Sutrawinangun. Dalam
gaya topeng Losari memang tidak dikenal adanya tari topeng Panji secara khusus,
karena topeng Panji ditarikan dalam topeng lakonan. Karakter tari topeng
tersebut adalah genit atau ganjen (bhs. Jw. Cirebon), sama dengan karakter
tokoh Samba dalam cerita wayang Purwa. Oleh sebab itu, tari ini juga sering
disebut dengan topeng Samba. Gerakannya gesit dan menggambarkan seseorang yang
tengah beranjak dewasa, periang, dan penuh suka cita. Itulah sebabnya, mengapa
gerakan tari topeng ini seperti kesusu (terburu-buru), mirip dengan perilaku
dan kehidupan seorang anak muda.
3. Rumyang,
wajahnya menggambarkan seorang remaja. Topeng Rumyang menggambarkan seseorang
yang penuh kehati-hatian, dan terkesan seperti ragu-ragu. Ia bak seorang
manusia yang perilaku dan tindak-tanduknya penuh pertimbangan. Ini gambaran
seorang manusia yang sudah mulai mengenal kehidupan. Lagu pengingnya sesuai
dengan nama tarinya, rumyang atau kembang kapas. Topeng Rumyang sewanda dengan
topeng Pamindo, bahkan dianggap sebagai kelanjutan dari topeng tersebut.
Sebagian daerah menampilkannya pada bagian ketiga, namun sebagain daerah lagi
menampilkannya pada bagian akhir. Perbedaan penampilan ini boleh jadi dipengaruhi
oleh beberapa faktor. Pertama, jika topeng tersebut ditampilkan pada bagian
ketiga, berkaitan dengan gambaran siklus kehidupan manusia, dan kedua berkaitan
dengan pengaruh wayang kulit atau karena pertunjukan topeng itu dilaksanakan
pada malam hari. Perlu diketahui bahwa, akhir pertunjukan wayang kulit Cirebon
biasanya ditandai dengan lagu rumyang. Karena itulah, mengapa topeng Rumyang
itu diakhirkan.
4. Patih (Tumenggung),
topeng ini menggambarkan orang dewasa yang berwajah tegas, berkepribadian,
serta bertanggung jawab. Tari Topeng Patih yang merupakan tarian pembuka
pertunjukan dramatari wayang Topeng Malang memiliki hubungan erat dengan
struktur pertunjukan berkaitan dengan ruang, waktu dan isi. Untuk itu pendekatan teoritis strukturalis simbolis
menjadi strategi pilihan guna memahami makna simbol yang terdapat di dalamnya.
Hasilnya menunjukkan bahwa struktur koreografi Tari Topeng Patih terdiri dari
tujuh unsur, yaitu unsur penokohan, unsur ritual, unsur komunikasi, unsur gerak tari, unsur tata rias dan busana,
unsur musik pengiring dan unsur panggung
pertunjukan yang kesemuanya mengarahkan pada perilaku budi luhur.
5. Kelana (Rahwana),
topeng yang menggambarkan seseorang yang sedang marah. Tari topeng Klana adalah
gambaran seseorang yang bertabiat buruk, serakah, penuh amarah dan tidak bisa
mengendalikan hawa nafsu, namun tarinya justru paling banyak disenangi oleh
penonton. Sebagian dari gerak tarinya menggambarkan seseorang yang tengah
marah, mabuk, gandrung, tertawa terbahak-bahak, dan sebagainya. Lagu
pengiringnya adalah Gonjing yang dilanjutkan dengan Sarung Ilang. Struktur
tarinya seperti halnya topeng lainnya, terdiri atas bagian baksarai (tari yang
belum memakai kedok) dan bagian ngedok (tari yang memakai kedok). Beberapa
dalang topeng, misalnya Rasinah dan Menor (Carni), membagi tarian ini menjadi
dua bagian. Bagian pertama, adalah tari topeng Klana yang diiringi dengan lagu
Gonjing dan sarung Ilang. Bagian kedua, adalah Klana Udeng yang diiringi lagu
Dermayonan. Tari topeng Klana sering pula disebut topeng Rowana. Sebutan itu
mengacu pada salah satu tokoh yang ada dalam cerita Ramayana, yakni tokoh
Rahwana. Secara kebetulan, karakternya sama persis dengan tokoh Klana dalam
cerita Panji. Di Cirebon, topeng Klana dan Rowana kadang-kadang diartikan
sebagai tarian yang sama, namun bagi beberapa dalang topeng, misalnya Sujana
dan Keni dari Slangit; Sutini dari Kalianyar dan Tumus dari Kreo; membedakan
kedua tarian tersebut, hanya kedoknya saja yang sama. Jika kedok Klana yang
ditarikan itu memakai kostum irah-irahan atau makuta Rahwana di bagian
kepalanya dan di bagian punggungnya memakai badong atau praba, maka itulah yang
disebut topeng Rowana. Kostumnya jauh berbeda dengan topeng Klana dan kelihatan
sangat mirip dengan kostum tokoh Rahwana dalam wayang wong. Menurut Hasan Nawi,
salah seorang pengrajin topeng Cirebon dalam kehidupan sehari-hari setiap
manusia seperti mengenakan topeng, misalnya saja pada saat marah seperti sudah
mengganti topeng berwajah ceria dengan topeng kemarahan. Kalau ada orang dewasa
yang sikapnya kekanak-kanakan maka ia seperti sedang mengganti topeng dewasanya
dengan topeng anak-anak.
2.12
Alat
Musik Pengiring Tari Topeng Cirebon
a)
REBAB
REBAB adalah jenis alat musik senar yang dinamakan
demikian paling lambat dari abad ke-8 dan menyebar melalui jalur-jalur
perdagangan Islam yang lebih banyak dari Afrika Utara, Timur Tengah, bagian
dari Eropa, dan Timur Jauh. Beberapa varietas sering memiliki tangkai di bagian
bawah agar rebab dapat bertumpu di tanah, dan dengan demikian disebut rebab
tangkai di daerah tertentu, namun terdapat versi yang dipetik seperti kabuli
rebab (kadang-kadang disebut sebagai robab atau rubab).
Ukuran rebab biasanya kecil, badannya bulat, bagian
depan yang tercakup dalam suatu membran seperti perkamen atau kulit domba dan
memiliki leher panjang terpasang. Ada leher tipis panjang dengan pegbox pada
akhir dan ada satu, dua atau tiga senar. Tidak ada papan nada. Alat musik ini
dibuat tegak, baik bertumpu di pangkuan atau di lantai. Busurnya biasanya lebih
melengkung daripada biola. Rebab, meskipun dihargai karena nada suara, tetapi
memiliki rentang yang sangat terbatas (sedikit lebih dari satu oktaf), dan
secara bertahap diganti di banyak dunia Arab oleh biola dan kemenche. Hal ini
terkait dengan instrumen Irak, Joza, yang memiliki empat senar
b)
GAMELAN
Gamelan adalah ensembel musik yang biasanya
menonjolkan metalofon, gambang, gendang, dan gong. Istilah gamelan merujuk pada
instrumennya / alatnya, yang mana merupakan satu kesatuan utuh yang diwujudkan
dan dibunyikan bersama. Kata Gamelan sendiri berasal dari bahasa Jawa gamel
yang berarti memukul / menabuh, diikuti akhiran an yang menjadikannya kata
benda. Orkes gamelan kebanyakan terdapat di pulau Jawa, Madura, Bali, dan
Lombok di Indonesia dalam berbagai jenis ukuran dan bentuk ensembel. Di Bali
dan Lombok saat ini, dan di Jawa lewat abad ke-18, istilah gong lebih dianggap
sinonim dengan gamelan.
c)
GENDER
Gender adalah alat musik pukul logam (metalofon) yang
menjadi bagian dari perangkat gamelan Jawa dan Bali. Alat ini memiliki 10
sampai 14 bilah logam (kuningan) bernada yang digantungkan pada berkas, di atas
resonator dari bambu atau seng, dan diketuk dengan pemukul berbetuk bundaran
berbilah dari kayu (Bali) atau kayu berlapis kain (Jawa). Nadanya berbeda-beda,
tergantung tangga nada yang dipakai. Pada gamelan Jawa yang lengkap terdapat
tiga gender: slendro, pelog pathet nem dan lima, dan pelog pathet barang.
d)
KECAPI SULING
Kecapi suling adalah sejenis musik instrumental yang
bergantung pada improvisasi dan populer di provinsi Jawa Barat yang menggunakan
dua alat musik, kecapi dan suling
e)
GONG
Gong merupakan sebuah alat musik pukul yang terkenal
di Asia Tenggara dan Asia Timur. Gong ini digunakan untuk alat musik
tradisional. Saat ini tidak banyak lagi perajin gong seperti ini.
Gong yang telah ditempa belum dapat ditentukan
nadanya. Nada gong baru terbentuk setelah dibilas dan dibersihkan. Apabila
nadanya masih belum sesuai, gong dikerok sehingga lapisan perunggunya menjadi
lebih tipis.
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Sebagai
hasil kebudayaan, Tari Topeng mempunyai nilai hiburan yang mengandung
pesan–pesan terselubung, karena unsur – unsur yang terkandung didalamnya
mempunyai arti simbolik yang bila diterjemahkan sangat menyentuh berbagai aspek
kehidupan, sehingga juga mempunyai nilai pendidikan. Variasinya dapat meliputi
aspek kehidupan manusia seperti kepribadian, kebijaksanaan, kepemimpinan, cinta
bahkan angkara murka serta menggambarkan perjalanan hidup manusia sejak
dilahirkan hingga menginjak dewasa. Semoga kesenian ini tetap ada karena banyak
hal yang bisa kitadapatkan dan pelajari dari tarian ini. kata Sujana Arja,
salah seorang maestro tari topeng Cirebon. Hal itulah yang tetap dicoba oleh
tarian topeng Cirebonan sebagai bentuk khas kesenian asli Cirebon. Hingga saat
ini, kesenian itu jatuh bangun mempertahankan keasliannya. Ironisnya, beberapa
aliran atau gaya turunan tari topeng Cirebon hampir punah, bahkan beberapa di
antaranya sudah punah. Sebagian seni mandari aliran tari topeng Cirebon ada yang
mencoba mempertahankannya. Sering kali mereka dianggap kuno. Bahkan, beberapa
maestro yang masih eksis, hidupnya pun jauh dari layaknya seorang maestro seni.
3.2 Saran
Dengan
mengenal lebih banyak Tarian Adat di seluruh provinsi di Indonesia
mudah-mudahan membuat kita lebih mencintai negeri kita ini. Semoga seluruh
masyarakat Indonesia dapat terus menjaga dan melestarikan seni tari serta
menemukan cara-cara terbaru untuk mengatasinya agar tarian suatu daerah di
Indonesia dapat terjaga sampai generasi selanjutnya.
Daftar Pustaka
https://www.scribd.com/doc/19368507/Tari-Topeng-Cirebon-Makalah
http://www.academia.edu/9194515/MAKALAH_TARI_TOPENG_BAB_II_PEMBAHASAN
http://maolanasaidi.blogspot.co.id/2013/03/makalah-tari-topeng.html
Komentar
Posting Komentar